Nine adalah sebuah film fiksi ilmiah berbentuk animasi yang
disutradarai oleh Shane Acker. Ia dibuat tahun 2009 namun didasarkan pada film
singkat yang mendapat nominasi Academy Award tahun 2005 dengan judul yang sama.
Film ini memiliki kemiripan dengan The Matrix, hanya
saja kedua pihak yang berperang kalah. Film lain yang mirip adalah I am Legend
dan Wall-E dimana dunia sudah tidak lagi berpenghuni manusia. Dunia
pasca-bencana menjadi latar dalam film ini. Karakter utamanya adalah sebuah
boneka hidup dari kain. Sebagai film sains fiksi, ia memiliki komponen sains
dan fiksi. Tulisan ini akan membedah komponen sains dalam film ini. Ada dua
komponen sains dalam film 9 yang penulis temukan yaitu robotika dan neurosains.
Kajian berikut akan membahas aspek neurosains saja karena robotika merupakan
konsep yang luas dan bersifat tidak pasti jika dikaitkan dengan masa depan
manusia. Bisakah robot memberontak? Bisa saja. Lagipula, robotika terkait
dengan kehendak bebas dan kehendak bebas dapat terkait dengan masalah jiwa yang
akan dibahas selanjutnya.
Jiwa
Komponen neurosains dalam film ini adalah “jiwa”. Dalam
film terlihat sang ilmuan memindahkan jiwanya ke dalam 9 boneka kain sehingga
boneka kain tersebut mati. Adegan lain adalah saat ending dimana beberapa
boneka dikeluarkan jiwanya dari kuburan mereka. Masih mengenai jiwa, terdapat
pula adegan dimana jiwa dari sang ilmuan yang dipindahkan ke boneka kemudian
pindah ke badan robot dan menghidupkan robot tersebut.
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan adalah : Apakah
jiwa itu? Dapatkah jiwa dipindahkan? Apakah jiwa dapat menjadi sumber energi?
Apakah Jiwa Itu?
Jiwa didefinisikan sebagai esensi tak berbadan dari mahluk
hidup atau benda (http://en.wikipedia.org/wiki/Soul). Apabila
tidak berbadan, maka ia dipandang dapat terikat atau lepas dari badan. Sebagian
memandangnya seperti uap yang tersimpan dalam botol (badan) dan dapat lepas
ketika mati atau bahkan tidur.
Sains bertopang pada naturalism metodologis yaitu mencari
penjelasan alamiah mengenai dunia. Apabila jiwa ada, maka ia dapat diamati dan
dijelaskan secara alamiah. Sekarang, apakah jiwa dapat diamati dengan indera
atau sensor lain buatan manusia? Sampai sejauh ini tidak ditemukan adanya jiwa
dalam tubuh manusia.
Sebagian besar pemahaman sains terhadap jiwa memandangnya
sebagai kepribadian manusia yang merujuk pada pikiran atau kesadaran. Dengan
definisi ulang ini, jiwa dilihat sebagai objek keyakinanmanusia,
atau konsep yang membentuk kognisi dan pemahaman dunia. Posisinya dapat
ditunjuk, yaitu di otak, dan berbentuk sebagai pola-pola interaksi yang muncul
dari interaksi manusia dengan alam menggunakan komponen indera, syaraf, dan
otak. Dengan pemahaman ini, maka jiwa tidak dapat lepas dari tubuh karena
ia dibentuk oleh keempat komponen tersebut. Ketika salah satu dari empat
komponen tersebut tidak ada, jiwa tidak ada.
Sebagian memandang jiwa sebagai zat non materi. Dalam
sains, alam semesta disusun oleh dua zat, yaitu materi dan gaya. Jika bukan
materi, berarti gaya. Gaya adalah sesuatu yang menyebabkan benda berubah
gerakan (http://en.wikipedia.org/wiki/Forces). Ada
empat gaya dasar di alam yaitu gaya nuklir kuat, gaya nuklir lemah, gaya
elektromagnetik, dan gaya gravitasi. Untuk dapat menjadikan jiwa sebagai gaya,
maka dibutuhkan partikel pembawa gaya. Dengan kata lain, gaya hanya dapat ada
jika ada partikelnya (bendanya) berdasarkan definisi. Tanpa benda, gaya tidak
ada.
Jiwa sebagai gaya dapat bermakna ketika manusia memang
digerakkan oleh jiwa atau yang disebut orang sebagai gaya hidup. Ketika manusia
lenyap, kemana gaya tersebut? Bercerai berai bersama bercerainya jasad?
Lalu apa bedanya antara jiwa manusia dengan jiwa batu? Kenapa batu tidak
memiliki jiwa? Atau robot, robot dapat bergerak, apakah robot memiliki jiwa?
Menurut filsuf Daniel Dennet, konsepsi jiwa muncul dari
sikap disengaja (intentional stance) yang diterapkan
pada aspek pengalaman manusia. Sikap disengaja adalah sebuah strategi perilaku
yang meramalkan tindakan orang lain berdasarkan harapan kalau mereka memiliki
pikiran seperti kita. Artinya, ia berasal dari asumsi kalau kita berpikir maka
orang lain juga berpikir. Benda tak hidup seperti batu, memiliki perilaku yang
teramalkan, mahluk hidup tidak. Karenanya, untuk memfasilitasi hal tersebut
kita memberikan istilah jiwa sebagai penyebab tak teramalkannya mahluk hidup. Adanya
jiwa maka berkaitan dengan kehendak bebas.
Dapatkah Jiwa Dipindahkan?
Jika jiwa dapat dipindahkan, maka ia membutuhkan medium
untuk berpindah. Dengan adanya medium ini, berarti jiwa dapat menggunakan
partikel yang sama dimiliki manusia dan medium. Padahal jiwa membedakan manusia
dengan benda tak hidup, seperti medium. Jika demikian, manusia tidak unik dalam
kepemilikan jiwa. Sains dapat mendeteksi hal ini jika memang deteksi jiwa di
dalam tubuh tidak dapat dilakukan. Sejauh ini tidak ada bukti adanya sesuatu
yang keluar dari jasad. Pernah ada eksperimen yang dilakukan oleh Duncan
McDougall tahun 1907 yang mendaku kalau jasad orang mati sedikit lebih ringan
daripada jasad orang hidup. Selisih massa ini disebutnya sebagai massa jiwa.
Jika memiliki massa, maka jiwa bukan gaya tetapi materi. Jika jiwa adalah
materi, maka ia dapat diamati. Sejauh ini tidak ada pengamatan mengenai
keberadaan jiwa.
Peradaban kuno dan bahkan anak-anak, memandang benda tak
hidup memiliki jiwa. Setidaknya sejak zaman batu, konsepsi mengenai jiwa telah
ada. Arkeolog di Turki selatan pada tahun 2008 menemukan artefak batu dari abad
ke-8 sebelum masehi yang menjadi bukti tertulis kalau orang percaya jiwa
terpisah dari tubuh (http://www.sciencedaily.com/releases/2008/11/081118071136.htm).
Jika setiap benda tak hidup, seperti yang diyakini animisme dan anak-anak,
memiliki jiwa, maka jiwa dapat bermakna energi. Energi adalah ekuivalen dari
massa, jadi jiwa juga berarti materi.
Dapatkah jiwa menghasilkan energi?
Energi adalah kemampuan menggerakkan melawan gaya
sepanjang jarak tertentu (http://en.wikipedia.org/wiki/Energy).
Jika jiwa menghasilkan energi, maka ia seharusnya dapat diidentifikasi. Manusia
memukul pintu, tidak diartikan sebagai jiwa menghasilkan energi pukulan, tetapi
sistem biologis manusia yang menghasilkannya lewat berbagai interaksi biokimia.
Jika manusia mati, interaksi biokimia ini lenyap karena ditenagai oleh
pernapasan dan nutrisi. Kembali jika jiwa ada, maka ia telah diuraikan
sedemikian rupa oleh sains menjadi reaksi-reaksi biokimia yang terpisah-pisah.
Kesatuan didalamnya muncul di otak manusia, namun otak manusia sendiri
merupakan reaksi-reaksi biokimia pula. Akibatnya, jiwa merupakan suatu
jaringan. Apakah reaksi biokimia tertentu yang terbuang dari tubuh, dapat
dipandang sebagai bagian atau potongan jiwa yang lepas dari tubuh?
Kesimpulan
Singkatnya sains mengatakan jiwa sebagai zat non materi
tidak ada. Sebagai zat materi apa lagi. Bagi sains, konsep jiwa yang dipandang
oleh manusia pada umumnya hanyalah suatu proses interaksi biokimia di dalam
otak yang memunculkan kesadaran. Kesadaran sendiri adalah interaksi antara
otak, syaraf, indera, dan lingkungan. Tanpa otak, tidak ada kesadaran. Tanpa
syaraf, tidak ada kesadaran. Tanpa indera, tidak ada kesadaran, dan tanpa
lingkungan juga tidak ada kesadaran. Usaha manusia untuk mereplikasi jiwa
diwujudkan dalam pengembangan di bidang robotika dimana para ilmuan berusaha
menciptakan mesin, molekul, atau program yang dapat bertindak sendiri.
Dapatkah ketiadaan jiwa berimplikasi pada cara pandang
kita terhadap kehidupan? Tergantung pada manusianya. Menurut saya, alam
semesta ini deterministic (walaupun ada sedikit racikan keacakan dari mekanika
kuantum dan teori
chaos). Saya merasa nyaman dengan mengatakan saya tidak punya jiwa
(jika anda membayangkan jiwa sebagai sesuatu yang dapat lepas dari diri
manusia, bersifat nonmateri dan nongaya). Dan saya juga merasa nyaman jika
dikatakan saya punya jiwa (jika anda memandang jiwa sebagai interaksi
biokimiawi otak manusia yang terejawantah sebagai kepribadian akibat interaksinya
dengan lingkungan lewat perangkat indera dan syaraf).