Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para
ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli
ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga
masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan
Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa,
yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal.
16)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.”(An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud
dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan
untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat
mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih
serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini.
Di antaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu
berkata:
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu
tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah
ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan
kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada
Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim
dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul
Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa
yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti
cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang
berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat
bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu
dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan
taatilah (dia).” (HR. Muslim dari
shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka
(dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah
menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan
ini, sebagaimana berikut:
– Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa,
yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul
Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan
yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu
jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas
keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya
Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam,
karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)
– Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata:
“Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka
berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan
mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan
di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari
dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyah hal. 368)
– Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah
bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka,
-pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya.
Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan
yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah.
Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan
juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang
dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari
Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
– Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata:
“Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari
kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi
pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul
Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban
dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal.
276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
– Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah
bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah,
Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak
melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau
lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam
hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
– Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata:
“Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah
di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa
dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk
menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan
terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Sumber : Dari Tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc di Majalah Asy Syariah
berjudul “Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa, Syi’ar Kebersamaan
Umat Islam”