Puasa merupakan satu penampakan praktis dari berbagai
penampakan kesatuan kaum muslimin, kesetaraan antara si kaya dan si miskin,
penguasa dan rakyat, orang tua dan anak kecil, serta laki-laki dan perempuan.
Mereka berpuasa untuk Rabb mereka, seraya memohon ampunan-Nya dengan menahan
diri dari makan pada satu waktu dan berbuka dalam satu waktu juga. Mereka
sama-sama mengalami rasa lapar dan berada dalam pelarangan yang sama di siang
hari, sebagaimana mereka mempunyai kedudukan yang sama dalam mengibarkan
syi’ar-syi’ar lain yang berkenaan dengan puasa.
Dengan demikian, puasa merealisasikan semacam kesatuan
tujuan, rasa, nurani, dan tempat kembali di masyarakat yang berpuasa. Secara keseluruhan, umat Islam berdiri dalam satu
barisan pada satu musim tertentu setiap tahun dan dalam beberapa hari tertentu
di antara seluruh umat manusia ini. Ia merupakan barisan penghubung antara
bangsa-bangsa yang kuat, antara komponen dari umat Islam secara keseluruhan,
meskipun tempat tinggal mereka berjauhan dan berada dalam satu ikatan yang
ditempatkan di hadapan satu pengalaman, yang memiliki satu pengaruh dan dalam
satu penampakan kebersamaan.
Dengan demikian, hati dan perasaan mereka akan menjadi
semakin erat dan akrab sehingga menjadi satu hati yang mengarah kepada
kehidupan dengan satu pandangan.
Inilah satu teladan yang baik bagi persatuan antara
berbagai masyarakat dari umat ini, bahkan sebagai teladan yang ideal bagi
setiap kesatuan dalam kehidupan ini. Sebab, ia merupakan kesatuan yang
bersumber dari nurani dan menciptakan masa depan serta tempat kembali dan
membangkitkan berbagai kemuliaan dari dalam diri yang nampak secara
lahiriahnya, sehingga terwujudnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian
semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.”
[Al-Mu'minun: 52]
Kesatuan yang diwujudkan oleh puasa ini merupakan
kesatuan permulaan, karena ia merupakan buah dari ibadah yang sungguh-sungguh.
Kesatuan nurani, karena ia bersumber dari amal
perbuatan perasaan yang didasarkan pada perencanaan jiwa kemanusiaan.
Kesatuan tempat kembali, karena ia menggiring umat ini
secara keseluruhan kepada satu tempat kembali yang berakhir padanya dan berdiam
di sana, yaitu takwa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikannya sebagai
buah dari puasa.
Kesatuan rasa, karena ia menyatukan rasa dan perasaan
umat pada satu tujuan dan menempatkannya pada satu jalan.
Kesatuan aqidah, karena ia bersumber dari keimanan dan
keyakinan dan bertengger di udara takwa dan ibadah.
Dalam penampilannya yang cukup mengesankan, kesatuan
ini memberikan gambaran yang benar mengenai kesatuan besar yang menyamaratakan
semua anggota umat meskipun terdapat perbedaan jenis, warna kulit, dan
kebangsaan. Jika engkau ingin membuktikan hal tersebut, silakan arahkan
pandanganmu pada saat berbuka di negara yang aman, di Baitullah, untuk
menyaksikan ratusan ribu orang yang berbuka bersama dalam satu waktu. Pernahkah
engkau menyaksikan tampilan kesatuan yang lebih jelas dari ini? Pada
hakikatnya, yang buta itu bukanlah pandangan mata, tetapi hati yang ada di
dalam dada.