Hari
Raya Kedua?
Tanggal merah di kalender
negara kita (Indonesia tercinta) untuk lebaran ‘Idul Fitri biasanya ada dua,
yaitu tanggal 1 dan 2 Syawal. Biasanya ini pun terbawa sampai ke pembicaraan
secara tak sadar, misalnya. “Aku ke rumah pamanku biasanya hari raya
kedua.”
Nah
saudariku, tahukah engkau bahwa hari raya umat muslim itu memang ada dua. Tapi
bukan seperti di kalender nasional. Hari raya umat muslim adalah tanggal 1
Syawal dan tanggal 10 Dzulhijjah, dan dua hari raya ini adalah pengganti dari
dua hari raya yang ada pada masa jahiliyyah (hari raya Nairuz dan Mahrajan) di
kota Madinah. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Anas radhiyallahu
‘anhu yang mendengar
beliaushallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang
menjadi ajang permainan kalian pada masa jahiliyyah. Dan sesungguhnya Allah
telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, yaitu hari raya ‘Idul Adh-ha
dan ‘Idul Fithri.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Shahih)
Mengangkat Tangan Saat Takbir
Shalat ‘Idul Fitri pada rakaat pertama dimulai dengan
takbir sebanyak 7 kali dan rakaat kedua sebanyak 5 kali. Tentu biasanya kita
mengangkat tangan setiap takbir tersebut.
Tahukah engkau saudariku,
ternyata tidak terdapat hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengangkat
tangan di setiap takbir tersebut. Yang ada adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu yang mengangkat
kedua tangannya setiap kali takbir. Seperti kita ketahui, Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu adalah salah
satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat bersemangat mengikuti
sunnah Rasulullah.
Maka, barangsiapa yang
berkeyakinan bahwa Ibnu ‘Umar tidak akan mengangkat tangan kecuali dengan
ketetapan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka dia boleh mengangkat tangannya. Boleh juga bagi kita mengangkat
tangan pada saat takbir dengan berlandaskan dalil umum bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallammengangkat tangan setiap kali takbir.
Halal
Bi Halal
Acara Halal Bi Halal ini biasanya merupakan
ajang pertemuan baik sanak kerabat, teman kantor atau yang lainnya yang
maksudnya adalah saling memaafkan segala kesalahan yang telah lalu dari
orang-orang yang ditemui pada saat itu.
Tahukah engkau saudariku,
bermaaf-maafan tidaklah mesti dikhususkan pada saat hari raya ‘Idul Fithri.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya tidak pernah mengajarkan
dan mengkhususkan untuk bermaaf-maafan saat sebelum dan sesudah puasa.
Bahkan pada hari raya ini sebenarnya merupakan hari di mana kaum
muslimin diberi keleluasaan untuk bersenang-senang dan menghibur diri setelah
lelah beribadah, walaupun lebih utama berpaling dari itu. Sebagaimana dalam
hadits yang diceritakan oleh istri tercinta Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ketika hari raya ‘Idul Adh-ha, terdapat dua
orang anak perempuan yang menyanyikan nyanyian orang-orang Anshor ketika
terjadi peperangan Bu’ats.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada
saat itu masuk dan berbaring di atas tempat tidur seraya memalingkan wajahnya.
Ayah istri tercinta Rasul dan merupakan orang yang paling dicintai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang
masuk dan melihat anak-anak yang sedang bernyanyi itu pun seketika marah dan
menghardik,
“Seruling setan ada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam??!!”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mendengar
itu menghadap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan bersabda, “Biarkan mereka berdua.”
Dalam riwayat lain,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai
Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya dan ini adalah hari
raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Eh… tapi perlu diperhatikan
lho, nyanyian di sini bukan nyanyian seperti yang ada sekarang ini. Yang
diperbolehkan adalah nyanyian yang isi syairnya mengungkapkan berbagai hal yang
menyangkut peperangan, keberanian dan dalam pelantunannya dapat membantu
urusan agama. Dilantunkannya pun hanya boleh dengan rebana dan
dinyanyikan oleh anak-anak kecil perempuan. Lihat saja reaksi spontan Abu Bakarradhiyallahu ‘anhu ketika mendengar dan melihat ada dua
anak menyanyi seperti itu. Berarti pada dasarnya, hal tersebut (menyanyi)
memang terlarang kecuali yang telah dikecualikan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu pada saat hari raya dan pada saat walimahan.
Bersalam-Salaman
Maksud bersalam-salaman di
sini bukan memberi salam “assalamu ‘alaikum”. Tapi bentuk EYD yang lebih tepat
adalah berjabat tangan. Ini adalah konsekuensi yang ada jika mengikuti acara
Halal Bi Halal, bahkan biasanya sampai ada acara cipika-cipiki (cium pipi
kanan-cium pipi kiri). Yang lebih tidak menyenangkan dan membuat hati gundah
gulana adalah jabat tangan itu tidak mesti dilakukan sesama jenis, tetapi juga
dengan lawan jenis yang jelas-jelas bukan mahram.
Tahukah engkau saudariku,
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melakukan sesuatu yang sangat
penting, yaitu baiat, tidak pernah menyentuh wanita. Bahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memperingatkan
secara keras masalah menyentuh perempuan secara sengaja dalam hadits berikut,
“Sungguh ditancapkannya kepala seseorang dengan
jarum besi, itu masih lebih baik daripada dia menyentuh seorang wanita yang
tidak halal baginya.” (Hadits shahih, HR. Thabrani)
Ziarah Kubur
Menurut pendapat yang paling
rajih (kuat), ziarah kubur bagi wanita dibolehkan setelah sebelumnya dilarang
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tahukah engkau
saudariku, waktu ziarah kubur ini tidak ditetapkan khusus pada saat
sebelum berpuasa atau hanya pada saat ‘Id. Karena faidah yang sebenarnya ingin
didapatkan dari seseorang berziarah kubur adalah mengingatkannya akan kematian.
Maka ketika seseorang mengkhususkan waktu-waktu tersebut untuk berziarah dengan
keyakinan bahwa itu merupakan bagian dari ibadah (bahkan merasa kurang jika
tidak dikerjakan), maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Bahkan dapat membuat
celah dibuatnya syariat baru, sehingga orang yang baru belajar Islam akan beranggapan
bahwa ziarah kubur semacam itu memang memiliki waktu-waktu seperti yang sering
terlihat. Padahal apa yang dilakukan banyak orang, belumlah tentu suatu
kebenaran. Kebenaran adalah apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan untuk umat
Islam.